Pelatihan Pengelolaan...
07 Juli 2025
DINAS PERPUSTAKAAN DAN KEARSIPAN
Kabupaten Sidoarjo
Gula
merupakan salah satu komoditas bahan pangan yang sangat dibutuhkan oleh manusia
di seluruh dunia. Saat ini konsumsi gula di dunia berkisar 120 juta ton per
tahun dan terus bertambah dengan laju sekitar 2 juta ton per tahun. Untuk
memenuhi kebutuhan tersebut tanaman tebu dan juga industri gula dikembangkan
lebih dari 100 negara, namun perdagangan gula internasional dikuasai oleh
Uni-Eropa, Brazil dan India sebagai produsen terbesar dunia. Ketiga negara
tersebut menyumbang sekitar 40% dari kebutuhan gula dunia setiap tahunnya.
Puncak produksinya terjadi pada 1929-1930 lalu. Kala itu Indonesia, yang masih
diidentifikasi sebagai Hindia Belanda, mampu memproduksi gula 3 juta ton per
tahun sehingga tercatat sebagai eksportir gula terbesar kedua di dunia setelah
Kuba. Produksi tersebut mengalahkan Brazil, India dan Thailand yang dikenal
sebagai produsen gula dunia saat itu.
Predikat eksportir gula terbesar tersebut tak lepas dari banyaknya pabrik gula yang dibangun dijaman kolonial Belanda. Sejarah mencatat di tahun 1930 ada 179 PG yang pernah dibangun di pulau Jawa, yang sebagaian besar berlokasi di Jawa Timur termasuk Sidoarjo. Saat ini, kondisinya berbalik 180 derajat. Luasan perkebunan tebu yang dikelola pemerintah maupun masyarakat terus mengalami penyusutan akibat perubahan fungsi lahan. Turunnya bahan baku menimbulkan efek domino yang panjang. Satu persatu pabrik gula yang ada memilih menghentikan proses produksi atau gulung tikar. Buktinya menurut data Kemenperin 2015, jumlah pabrik gula Indonesia hanya ada 62 unit pabrik. Rinciannya 50 unit dikelola BUMN dan 12 pabrik swasta. Angka ini sepertinya juga bakal kembali turun setelah Holding Perkebunan Nusantara (PTPN III Persero) berencana akan menutup 11 pabrik gula yang dikelola pihaknya. Penutupan tiga pabrik gula di PTPN IX, tiga pabrik di PTPN X dan lima pabrik di PTPN XI akan dilakukan bertahap mulai 2018. Data dari Litbang Bappenas menyebut, di tahun 2016 lalu jumlah produksi gula nasional mencapai 2,6 juta ton. Disisi lain Kementerian Perindustrian menafsir kebutuhan gula nasional di tahun itu mencapai 5,7 juta ton dengan rincian 2,8 juta ton gula Kristal putih konsumsi masyarakat dan 2,9 juta ton gula refinasi untuk kebutuhan industri makanan dan minuman. Perubahan kondisi tersebut membuat status Indonesia di tatanan perdagangan gula internasional pun berubah. Jika dulunya berposisi sebagai eksportir, namun sejak tahun 1967 hingga saat ini Indonesia menjadi negeri agraris yang bergabung pada impor gula. Meski begitu pemerintah tetap percaya diri akan mampu lepas dari jerat impor tersebut. Dalam roadmap industri gula yang disusun oleh Kemeperin, Pemerintah Indonesia mentargetkan bisa menghapus kebijakan impor gula secara umum, kecuali bagi industri dengan persyaratan khusus pada 2015-2019. untuk mencapai target tersebut, pemerintah berencana akan membuka perkebunan tebu sekaligus dengan pabrik gula baru di luar Jawa, salah satunya di Gorontalo. Selain itu, pemerintah juga akan melakukan penggantian mesin peralatan industri gula dengan teknologi proses produksi yang inovatif dan efisien.
Ada banyak versi kisah tentang awal mula pemanfaatan tanaman tebu sebagai bahan pemanis makanan maupun minuman. Ada yang menyebut bangsa Polinesia (Persia) yang pertama kali memproduksi sekaligus mengkonsumsi gula tebu pada 510 tahun sebelum masehi. Teknologi pemerahan tebu ditemukan oleh orang-orang Mesir yang memiliki ahli-ahli pertanian dan kimia. Mereka mengembangkan teknik penyaringan, pemurnian dan kristalisasi gula untuk kepentingan penguasa Kekaisaran Persia yang menjajah Mesir. Inovasi itupun dijaga ketat agar produknya bisa dijual dengan harga mahal. Namun rahasia ini terbongkar saat orang-orang Arab menguasai Persia pada tahun 642. Mereka mulai mengenal tanaman tebu yang disebutnya sebagai ‘Gelaga Persia’ dan juga gula yang kemudian diperkenalkan ke wilayah-wilayah lain yang mereka taklukkan. Sementara itu versi lainnya menyebutkan tanaman tebu varietas saccarum officinarum sudah dibudidayakan di Papua sejak 9000 tehun yang lalu. Selanjutnya bibit tanaman itu menyebar ke seluruh nusantara hingga ke Filiphina sejak 7000 tahun yang lalu. Penyebarannya meluas melalui jalur migrasi hingga ke seluruh Asia Tenggara, lalu ke India dan Tiongkok pada masa 800 SM. Gula pertama kali dibuat di India pada masa 400 SM samapai 700 M, yaitu dari nira tebu yang direbus dan dijemur sampai keras. Catatan pertama mengenai gula muncul saat pasukan Alexander Agung, menjelajah ke Punjab, India. Salah satu jenderalnya yaitu Nearchus pada 327 SM melaporkan : “Ada tumbuhan gelaga di India yang menghasilkan madu tanpa bantuan lebah, yang dapat dibuat menjadi minuman yang memabukkan, meskipun tanaman tersebut tidak berbiji ataupun berbuah”. Seorang penulis Yunani yaitu Diosorides menulis : “Ada semacam madu pekat, yang disebut saccharin, ditemudkan pada gelagah di India dan Arab, serupa garam dan rapuh seperti garam bila digigit”. Ahli sejarah pangan, R. J. Forbes menulis : “Gula yang baru dikenal orang-orang Romawi pada abad pertama Masehi, ternyata sudah dibuat di India meskipun dalam jumlah yang tidak banyak”.
Ekspansi Arab ke Mediterania merupakan suatu perkembangan yang sangat penting dalam sejarah gula karena telah menjadi agen penyebaran rasa manis ke Eropa Selatan. Dimungkinkan gula masuk ke daratan Eropa Utara melalui prajurit perang salib yang pulang ke negaranya masing-masing dengan membawa ‘garam manis’ dari Tanah Suci di awal abad ke 11. Teori itu didasarkan pada catatan yang ditemukan di Inggris yang menyebutkan pada tahun 1099 orang-orang setempat sudah mengkonsumsi gula tebu. Kala itu, orang Eropa Utara menggunakan madu sebagai satu-satu bahan pemanis makanan dan juga minuman. Selain sebagai pemanis, orang-orang Eropa di abad ke 13-15 juga menggunakan gula sebagai obat, terutama bagi penyandang cacat untuk memperkokoh kekuatan mereka. Di abad ke 15, seorang pengusaha di Venice sukses melakukan pemurnian gula, sehingga bisa menguasai pasar di Italia bahkan hampir ke seluruh Eropa karena harga jual yang ditawarkannya jauh lebih murah ketimbang barang impor. Ludivico di Varthema yang melakukan perjalanan ke India antara tahun 1503-1508 mencatat dalam bukunya “Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese” bahwa di selatan Goa-Hindia, “akan kelimpahan besar gula, terutama gula manisan sebagaimana yang kami lihat”. Pada saat Duarte Barbosa, ipar dari Ferdinand Magellan, mengunjungi India tahun 1513, dia mencatat “Adanya gula di Benggala yang dibuat untuk makanan, dikemas dan dikirim ke Srilanka dan Arab, tapi orang Benggala ini tidak tahu bagaimana caranya membuat gula putih”.
Ekspansi besar-besaran gula ke Eropa dimulai setelah Christoper Columbus membawa tanaman tebu yang ia dapatkan dari penguasa Kepulauan Cannary untuk ditanam di kawasan Karibia. Iklim yang sesuai dengan habitat tebu membuat tanaman itu bertumbuh dengan subur disana. Orang-orang Eropa yang berkoloni di Karibia mulai membuka pabrik-pabrik gula disana sejak tahun 1506 untuk memenuhi pasar lokal. Kegiatan ekspor gula dari kepulauan Karibia, khusunya kawasan Hispanola yang meliputi Haiti dan Dominika, ke Eropa pertama kali dilakukan pada 1525 dengan pengiriman gula sebanyak 3 kapal ke Spanyol. Dan pada tahun 1530 dikirim 12 kapal dengan muatan 1.500 ton gula. Sebelumnya, di tahun 1516 orang-orang Hispanola sempat mengirim gula dalam jumlah kecil sebagai hadiah untuk raja Spanyol. Besarnya ceruk pasar gula membuat raja-raja Eropa kian bersemangat mengembangkan industri gula di kawasan selatan melalui aksi penaklukan. Selanjutnya tanaman tebu dibudidayakan secara massal di berbagai perkebunan besar di kawasan-kawasan lain di dunia (India, Filiphina dan kawasan Pasifik). Keterlibatan para budak dan eksploitasi sumber daya alam dan manusia di daerah jajahan itu membuat harga jual komoditas itu di pasar Eropa bisa jauh lebih murah daripada mengimpor dari kawasan timur yang dikuasai orang-orang Arab. Oleh Karena itu, produksi gula sangat erat kaitannya dengan imperialisme dan perdagangan budak di dunia barat.
Jalan panjang industri gula kristal putih di Indonesia tak
bisa dilepaskan dari peran Kabupaten Sidoarjo yang dikenal sebagai salah satu
lumbung penghasil tebu berskala nasional. Sebagai kawasan yang terbentuk dari
hasil pengendapan material sungai atau yang lebih akrab dengan sebutan delta
Kali Brantas, Sidoarjo menjadi wilayah yang subur sehingga cocok untuk menjadi
areal pertanian dan perkebunan. Kondisi ini masih ditunjang dengan curah hujan
yang mencapai 2717 mm mampu menyediakan ketersediaan air bagi lahan-lahan
pembudidayaan tanaman pangan di wilayah Kabupaten Sidoarjo. Salah satu bukti
sejarah yang masih ada hingga kini adalah Candi Pari di Porong yang dibangun
pada jaman Majapahit, tepatnya di tahun 1293 Caka atau 1371 M. Sebagaimana
tertulis dalam Kitab Negara Kertagama, candi ini dibangun atas perintah Raja
Hayam Wuruk sebagai bentuk ucapan syukur karena menjadikan kawasan di
sekitarnya sebagai lumbung pangan bagi kerajaan Majapahit. Sementara itu, data
yang ada di Dinas Pangan dan Pertanian Pemkab Sidoarjo menyebutkan, hingga
akhir 2016 lalu luasan lahan yang bisa difungsikan sebagai areal pertanian
sebesar 36 ribu hektar, sedangkan yang tergarap aktif baru seluas 22 ribu
hektar. Dari jumlah itu 12 hektar diantaranya ditanami padi. Khusus untuk
perkebunan tebu, Bupati Sidoarjo, H. Saiful Ilah, SH., M.Hum saat menghadiri
prosesi buka giling di PG Watoe Toelis menyebutkan luasan lahan tebu di
kabupaten Sidoarjo pada 2015 lalu sekitar 5.691 hektar. Dengan luasan tersebut,
produksi tebu di Kabupaten Sidoarjo tahun 2014 lalu tercatat lebih dari 682
kuintal perhektar. Dengan rendemen rata-rata sebesar 7,37%, produksi gula di
Kabupaten Sidoarjo tahun lalu rata-rata mencapai 50 kuintal perhektar. Hal
serupa juga terjadi di beberapa kabupaten/kota lainnya di Jawa Timur. Dari 38
kabupaten/kota yang ada di Jatim, 35 diantaranya adalah daerah penghasil tebu.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur yang dirilis 19 Juni 2017
mengungkapkan luasan lahan tebu di Jatim pada tahun 2016 mencapai 200.702
hektar yang mampu menghasilkan 1.035.157 juta ton. Luasan lahan itu terus
mengalami penyusutan hampir di semua daerah terutama di Probolinggo, Pasuruan,
Mojokerto dan juga Sidoarjo. Tentang hal ini Gubernur Jawa Timur, Soekarwo
menyebut, “masyarakat kita itu masyarakat tebu, yang kulturnya tebu”. Jadi
wajar jika sebaran areal perkebunan tebu di Jatim ada hampir di seluruh
kabupaten/kota di provinsi tersebut.
Sejak pertama kali merambah nusantara, para pedagang dan kaum
imperialis Eropa belum terlalu tertarik untuk mengembangkan industri gula di
Indonesia. Lada menjadi daya tarik utama Nusantara sehingga Belanda mengirim
Cornelis de Houtman dengan 4 kapal ke Banten yang tiba tanggal 15 Juni 1595 dan
mulai menancapkan dominasinya dalam perdagangan disana melalui sebuah wadah
bernama Verenigde Oostindische Compagnie atau VOC. Namun saat itu kegiatan
mereka semata-mata dipusatkan pada perdagangan saja karena Belanda adalah
bangsa merkantilis dan bukan industrialis. Benteng-benteng serta armada kapal
VOC disiagakan untuk menjaga keamanan sumber komoditas, menjaga jalur
perdagangannya serta menjaga hegemoni monopoli perdagangan. Budidaya tebu
secara massal sekaligus industri gula di Jawa baru dimulai pada tahun 1636.
Saat itu kantor pusat VOC di Belanda memerintahkan pada perwakilannya di
Batavia untuk ikut menyediakan pasokan gula kristal sebagaimana yang telah
mereka kembangkan di Tiongkok, Thailand, Bengala-India dan Brazil. Namun mereka
tidak memproduksinya sendiri, VOC melirik gula Kristal di sekitar Batavia yang
sudah dikembangkan oleh orang-orang perantauan dari Tionghoa yang membuka
usahanya di sepanjang aliran sungai Ciliwung. Selain gula, pemrosesan tebu
tersebut juga menghasilkan arak yang dikonsumsi kelompok masyarakat itu
sehari-hari. Saat itu, pemrosesan tebu menjadi gula dilakukan dengan
menggunakan teknologi yang masih sederhana. Yakni dengan menggunakan dua batu
silinder yang menjadi ciri khusus teknologi Tiongkok dalam memerah nira tebu.
Setelah itu nira tebu dimasak dengan memanfaatkan keterampilan khusus yang
Tionghoa hingga menjadi gula Kristal yang siap dikonsumsi. Untuk itu VOC
mendukung perluasan perkebunan tebu di sekitar Batavia. Berhektar-hektar hutan
pun dibabat sebagai lahan baru perkebunan, sedangkan batang-batang pohonnya
digunakan sebagai kayu bakar dalam proses produksi gula. Sedang pekerjanya
didatangkan dari daerah-daerah pesisir pantai Utara Pulau Jawa seperti Cirebon,
Tegal dan Pekalongan yang dibayar dengan upah rendah. Selain itu mereka juga
mendatangkan budak-budak dari India dan Arakan serta mengerahkan tenaga tawanan
dari Celebes, Bali dan Banda untuk dijadikan tenaga kerja di perkebunan tebu.
Produktivitas itu semakin dinaikkan setelah pasokan gula dari koloni Belanda di
Brazil mulai terganggu akibat pertikaiannya dengan orang-orang Portugis pada
1644-1645. Pada tahun 1652, ekspor gula dari Jawa meningkat menjadi 723 ton
dari sentra penggilingan tebu yang jumlahnya mencapai 20 unit. Namun gula-gula
itu tidak dikirim ke Eropa karena margin keuntungan yang mereka dapatkan
relatif sedikit. Untuk itu mereka mengalihkan pasar mereka ke Asia, yakni ke
Malabar-India, Suratthani-Thailand dan Jepang. Keputusan ini tampaknya tepat.
Pasalnya ekspor gula kristal putih VOC dari Batavia terus mengalami peningkatan
setiap tahunnya dan di tahun 1700-an, volumenya melambung hingga lebih dari
1000 ton.
Hingga saat ini memang belum ada bukti sejarah yang dengan
tegas menunjukkan sejak kapan tebu menjadi komoditas pertanian yang diusahakan
oleh masyarakat di Sidoarjo. Pasalnya masyarakat Jawa, termasuk di Sidoarjo,
saat itu belum menempatkan tebu sebagai bahan pangan pokok dalam kehidupan
kesehariannya meski telah dibudidayakan dalam jumlah yang sangat terbatas di
beberapa daerah. Thomas Rafffless dalam bukunya ‘History of Java’
menginformasikan, penduduk lokal hanya mengkonsumsi tebu sebagai makanan
penutup atau kudapan yaitu dengan mengunyah langsung batangnya. Sedangkan untuk
kebutuhan pemanis makanan minuman, mereka lebih suka mengkonsumsi gula aren dan
gula kelapa. Berbeda dengan kebiasaan orang Tionghoa yang lebih akrab dengan
penggunaan tebu sebagai bahan pemanis utama. Catatan sejarah yang ada
menunjukkan masyarakat Tiongkok bahkan sudah menguasai teknologi pembuatan gula
tebu sejak masa Dinasti Chin Timur pada tahun 317-420. Teknologi tersebut
berkembang terus dan pada masa Dinasti T’ang tahun 618-907 sudah terdapat
industri gula Kristal di Kwangtung dan Szechuan. Kisah sejarah yang tercatat
tentang perkebunan tebu di Sidoarjo ada di sekitar tahun 1800-an. Di masa itu,
para pengusaha Cina dari Semarang dan Batavia serta pemodal partikelir dari
daratan Eropa yang didukung pemerintah kolonial Belanda mulai menjadikan
Sidoarjo sebagai salah satu sentra produksi gula di tanah Jawa setelah usaha
serupa mereka di Batavia dan Banten runtuh sejak akhir abad ke 18. Di Sidoarjo,
para konglomerat gula itu seakan menemukan lahan dan pengharapan baru untuk
menghidupkan usaha mereka yang mulai meredup. Mereka menyewa tanah dari pemerintah
kolonial Belanda untuk dikelola sebagai perkebunan (onderneming) tebu. Di
Sidoarjo, areal persawahan bahkan lahan-lahan kering disulap menjadi
kebun-kebun tebu. Berikutnya, pabrik-pabrik gula pun didirikan. Bibit-bibit
tebu itu tidak hanya ditanamkan di lahan persawahan yang telah ada, namun juga
di areal pertanian yang baru. Di masa itu kawasan hutan yang masih cukup luas
di Sidoarjo dibuka secara massal untuk dijadikan lahan perkebunan tebu.
Jejak langkah pergulaan di Jawa, termasuk di Sidoarjo sangat erat kaitannya dengan system cultuurstelsel atau tanam paksa, yaitu peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830. Tanam paksa adalah era paling eksploitatif dalam praktik ekonomi Hindia Belanda.
Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem
monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat
dibutuhkan pemerintah. Penyimpangan lain dari konsep dasar kebijakan tanam
paksa ini adalah tanah yang sudah diserahkan pada pemerintah kolonial
dibebaskan dari beban pajak. Namun faktanya pemilik-pemilik tersebut tetap
diwajibkan membayar pajak tanah. Bagi penduduk desa yang tidak memiliki tanah
diwajibkan mengganti beban pajak yang harus mereka bayar dengan menjadi pekerja
paksa selama setahun penuh di perkebunan-perkebunan milik pemerintah, padahal
aturannya hanya 66 hari atau 15% dari jumlah hari selama setahun. Bagi
masyarakat, cultuurstelsel merupakan kerja rodi kaum pribumi, perampasan
tanah-tanah rakyat untuk perluasan kebun tebu. Ada banyak kisah dramatis
dibalik pemberlakuan sistem ini, baik yang nyata terjadi maupun yang menjadi
sumber inspirasi karya-karya sastra nasional. Salah satunya adalah novel
Tetralogi karya Pramudya Ananta Toer yang mengambil setting pabrik gula Toelangan
di tahun 1829.
Penerapan system tanam paksa di Indonesia benar-benar valid
untuk mendongkrak perekonomian kerajaan dan pemerintah colonial Belanda. Sejak
dicanangkan pada 1830-1834, para petani Indonesia ‘menyetorkan’ uang sebesar 3
juta gulden ke negeri Belanda tiap tahunnya. Studi Anne Booth menunjukkan bahwa
budidaya padi merosot drastic dari 1885-1899. Studi yang dilakukan di Kutoarjo
pada 1886 dan 1888 memperlihatkan betapa sengsaranya penduduk saat itu.
Penelitian ini dilakukan oleh H.G. Heyting, seorang insinyur yang menjabat
sebagai kontrolir menunjukkan setiap rumah tangga hanya punya sisa lahan seluas
0,75 hektare sawah, 0,5 ha kebun pekarangan dan 0,1 ha tegalan. Akibatnya
mereka harus hidup dalam kekurangan plus jeratan hutang dari para rentenir.
Bukan hanya itu, keberadaan perkebunan tebu dan pabrik gula yang ‘lapar tanah’
menyebabkan tanah produksi rakyat terampas dan berakibat pada perubahan sosial.
Di samping itu, rakyat masih dibebani juga dengan pekerjaan rodi, seperti:
diperkerjakan di perkebunan, melakukan pekerjaan pembangunan dan pemeliharaan
jalan, jembatan, saluran, pembangunan rel kereta api yang menunjang industry
dan masih banyak lagi tanpa dibayar. Kondisi inilah yang kemudian memantik api
konflik antara penguasa dan rakyat pribumi sebagai kaum pekerja, yaitu para
pekerja perkebunan dan buruh pabrik sebagai dampak dari kebijakan pemerintah
colonial. Sebuah kenyataan pahit yang membuahkan pemberontakan rakyat di
berbagai tempat di Sidoarjo.
Pemberontakan dimulai setelah shalat maghrib. Sebelum
melaksanakan aksinya kaum pemberontak mengambil air wudhu lebih dulu. Kemudian
mereka berkumpul di sebuah sawah yang terbuka, dimana berkibar sehelai bendera
berwarna putih-bitu-putih sebagai symbol dari kemandulan, kepiluan dan
kefanaan. Simbol lain pemberontakan adalah menyelempangkan Klaras (daun pisang
kering) seraya berdzikir. Kemudian seorang pembicara membakar semangat
pemerontak dengan mendakwahkan konsep jihad (perang suci). Para pemberontak itu
berasal dari Samentara, Taman dan Damarsi. Sementara pengikut dari kota lain
tidak ikut.
Selain itu ada juga kisah kepahlawan yang lain yang berlatar
belakang industrialisasi gula, yakni perjuangan Sakera. Hanya saja setting
peristiwa ini bukan di Sidoarjo, namun di Pasuruan. Selain itu tidak ada
dokumentasi tulisan yang otentik tentang sosok dan perjuangan sang tokoh.
Berdasarkan kisah tutur, nama aslinya adalah Sadiman. Sakera adalah nama
panggilannya sehari-hari yang maknanya adalah orang yang memiliki banyak teman
karena suka menolong sesama. Ia lahir di keluarga ningrat keturunan Madura di
Kelurahan Raci, kota Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, pada abad 19 ketika Belanda
menerapkan sistem tanam paksa dan industrialisasi gula di tanah Jawa. Ada kisah
yang mengatakan, bahwa ia pernah bergabung dengan pasukan Pangeran Diponegoro
dalam perang Jawa yang menyebabkan pemerintah kolonial Belanda menderita
kerugian yang sangat besar. Dengan cara licik pimpinan pabrik membujuk carik di
kampung Rembang agar menyediakan areal perkebunan baru yang cukup luas bagi
perusahaan dalam jangka waktu singkat. Iapun menggunakan cara-cara kekerasan
untuk meng-intimidasi masyarakat pemilik untuk menyerahkan lahan pertaniannya
untuk dikelola pihak pabrik gula. Sakera yang melihat penyimpangan tersebut
berusaha tampil sebagai pembela rakyat sehingga berkali-kali upaya carik
Rembang itu gagal. Kejadian itupun dilaporkan ke pemilik pabrik gula yang
langsung disikapi dengan mengutus bawahannya untuk membunuh Sakera. Namun,
bukannya berhasil membunuh, sang bawahan beserta anak buahnya justru mati
terbunuh di tangan Sakera. Akibat kejadian tersebut Sakera menjadi buronan
polisi pemerintah Hindia Belanda hingga akhirnya berhasil ditangkap saat ia
mengunjungi rumah ibunya. Ia memilih menyerah karena polisi Belanda dan juga
Carik Rembang mengancam akan membunuh ibunya jika terus melakukan perlawanan.
Ia pun dihukum dan dikurung di penjara Bangil. Selama di rumah tahanan Sakera
kerap mendapat siksaan yang kejam. Tapi kepedihan akibat luka di tubuhnya tidak
sesakit kesedihan dihatinya saat mendengar praktek penindasan yang dilakukan
oleh orang-orang Eropa yang didukung oleh kaum pribumi yang berkhianat demi
harta dan status sosial iapun memutuskan melarikan diri.
Tumbuhnya industrialisasi gula di Sidoarjo didorong
berakhirnya penerapan sistem cuulturstelsel dan diganti dengan kebijakan
politik ekonomi liberal melalui terbitnya UU Agraria pada 9 April 1870 sehingga
mampu menarik usahawan swasta, khususnya dari kalangan etnis Tionghoa dan Eropa
untuk menanamkan modal. Di masa-masa awal penanaman tebu, masih di era tanam
paksa, maskapai dagang Nederlandsche Handel Maatschappi (NHM) Berjaya karena
memasarkan komoditas tanam paksa. Arus modal yang diinvestasikan pada industri
gula di Sidoarjo dimulai di tahun 1832. Kala itu pengusaha Tionghoa bernama The
Goen Tjing mendirikan pabrik pemerahan tebu di kawasan Candi. Dengan dukungan
pemerintah kolonial Belanda, usaha baru itupun sukses meraup keuntungan yang
signifikan. Keberhasilan itu seakan menjadi magnet yang memiliki daya kuat
untuk menarik datangnya pemilik-pemilik modal yang lain untuk meramaikan ladang
usaha tersebut. Terbukti pada 1835 telah dibuka 4 pabrik gula baru sekaligus di
Waru, Buduran, Karangbong-Gedangan dan Tanggulangin. Luasnya ladang perkebunan
tebu yang terus menerus dibuka di Sidoarjo, termasuk pengalihan persawahan padi
dan komoditas pangan lainnya menjadi kebun-kebun tebu baru membuat pasokan
bahan baku untuk produksi gula kristal putih melimpah ruah. Permintaan pasar
yang seakan tak pernah cukup itu makin menarik perhatian sehingga pemerintah
kolonial Belanda sampai merasa perlu membuat lembaga bisnis ‘plat merah’ untuk
menangani produksi ‘pemanis yang dibuat tanpa bantuan lebah’. Perusahaan
berlabel N.V.
Matsechappy Tot Exploitatie de Suiker Ondernamingen Kremboong en Toelangan mendirikan pabrik gula Krembung (1847) dan Tulangan (1850). Dalam arsip-arsip yang tersimpan di pabrik-pabrik gula di Sidoarjo, setelah 1850, istilah fabriekant diganti menjadi ondernemer dikarenakan fabriekant telah lebih mendapat keleluasaan dari gubernemen dan lebih dilibatkan dalam pengolahan kebun-kebun. Sebelum tahun 1830, hampir semua pabrik gula dikawasan perkebunan di Jawa Timur masih mengandalkan hewan ternak untuk menggerakkan mesin-mesinnya, yang tentu saja memperlambat proses produksi. Tetapi untuk lebih menaikkan hasil produksi, para pengusaha gula kristal yang memiliki modal besar mulai mendatangkan mesin-mesin impor yang sebelumnya tidak pernah digunakan di Jawa. Era ini bisa disebut sebagai awal terjadinya industrialisasi di jawa Timur.Dan untuk keperluan perbaikan-perbaikan pebrik, khususnya penyediaan suku cadang dan tempat perbengkelan mesin-mesin beratnya, didirikan pula bengkel besar dengan nama De Bromo.
Ekspansi gula yang gila-gilaan tidak
hanya menerpa Sidoarjo dan sekitarnya tetapi pulau Jawa secara keseluruhan.
Hingga tahun 1929 sebanyak 179 pabrik yang mampu memproduksi 3 juta ton gula,
mempekerjakan 60.000 buruh tetap dan 700.000 buruh musiman. Bisa jadi ini salah
satu efek dari berlakunya Agrarische Wet di tahun 1870 yang merombak Pulau Jawa
sebagai hamparan kebun besar untuk kepentingan pemilik modal, Seperti pepatah
dalam istilah mereka, ‘tanah Jawa adalah gabus yang membuat negeri Belanda
tetap mengapung’.
Berdasarkan keterangan yang dinukil dari Buku Jejak Sidoarjo dari Jenggala hingga ke Suriname, jumlah produsen gula di Batavia dan Banten yang tercatat di tahun 1652 ada 20 unit ‘pabrik’ gula yang beroperasi. Namun jumlah itu jatuh hingga separuhnya di tahun 1660 akibat pertikaian VOC dengan Banten yang menghalangi perluasan lahan pertanian termasuk lahan tebu. Pada tahun 1656 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa memusnahkan sebagian besar penggilingan tebu di sekitar Batavia. Namun masalah itu bisa terselesaikan dengan berakhirnya perlawanan Sultan Ageng di tahun 1683. Ia ditangkap dan dipenjarakan di Batavia hingga meninggal dunia pada 1692. Apalagi setelah kesuksesan VOC yang mengalihkan pasar ke Asia. Volume ekspor semakin bertambah setiap tahunnya hingga jumlah produsen gula pun melonjak hingga 130 unit di tahun 1710. Jumlah pabrikan itupun melorot setelah terjadinya genosida atau pembantaian yang dilakukan oleh VOC dan kaum pribumi terhadap etnis Tionghoa di tahun 1740 yang terkenal dengan sebutan tragedi Angke. Di awal 1800-an, semangat untuk membangkitkan industrialisasi gula di Jawa kembali setelah masuknya pemodal-pemodal baru dari Inggris yang telah berpengalaman membangun bisnis serupa di India. Mereka datang dan langsung mengeluarkan investasinya untuk membuka perkebunan tebu sekaligus industrinya di kawasan Pemanukan dan Subang, Jawa Barat. Upaya merevitalisasi industri gula oleh orang-orang Britania itu menemui jalan buntu. Kesalahan dalam memilih lokasi lahan menjadi faktor utama. Pasalnya kontur lahan dan cuaca di Jawa Barat bukanlah habitat yang ideal bagi tebu. Selain itu sulitnya mencari tenaga kerja juga menjadi kendala yang tak mudah diatasi. Akhirnya para fabriekant memilih mengibarkan bendera putih. Misalnya firma MacQuoid Davidson and Co yang dikelola Thomas MacQuoid terpaksa gulung tikar pada 1826. Justru para Taipan Tionghoa yang mampu bertindak lebih cerdik. Mereka memilih untuk menerbangkan modalnya ke keresidenan-keresidenan di sepanjang pesisir Utara Jawa Tengah.
Industri gula nusantara mulai memasuki era modernisasi beberapa tahun pasca revolusi industri di Inggris. Satu demi satu pabrik-pabrik gula yang berdiri di Jawa mulai meninggalkan teknik tradisional. Mulai tahun 1830, pabrik-pabrik gula di Jawa Barat bertenaga mesin mulai berdiri. Modernisasi tersebut terus menjalar ke pabrik-pabrik gula, sistem cultuurstelsel yang dilanjutkan dengan era liberalisasi ekonomi terbukti mampu mendongkrak industri gula di Jawa. Setelah sekian lama menikmati masa-masa kejayaannya, maka industri gula nusantara mulai memasuki titik kulminasinya setelah ditanda tanganinya persetujuan “Chad Bourne” di tahun 1930 yang membatasi produksi gula dari Jawa maksimal 1,4 juta/tahun. Hal ini dilakukan untuk mengendalikan pesatnya industri gula di dunia. Luncuran jetcoster industri gula nusantara makin menukik saat memburuknya ekonomi dunia karena munculnya krisis moneter di berbagai belahan dunia akibat Perang Dunia II hingga banyak pabrik yang terpaksa tutup. Setelah Indonesia merdeka, sekitar tahun 1950-an hubungan Indonesia dengan Belanda membaik, maka para pengusaha di sektor industri gula diperbolehkan beroperasi kembali. Pabrik-pabrik gula yang hancur akibat peperangan direhabilitasi. Pemerintah Republik pun membentuk Badan Penyelenggara Perusahaan Gula Negara pada 1946, yang disusul kehadiran Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia (PPRI). Maskapai ini khusus mengelola perusahaan gula bekas Kesunanan dan Mangkunegara. Pada periode ini berbagai peraturan era kolonial yang sebelumnya memberatkan petani tebu, seperti sewa lahan, diperbaiki. Namun saat terjadinya perebutan Irian Barat pada 1957 semua perusahaan milik bangsa asing di Indonesia dinasionalisasi menjadi milik negara, termasuk perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula. Sedikitnya ada 205 perusahaan perkebunan dan pertanian yang dinasionalisasi oleh pemerintah saat itu. Tujuannya agar industri gula mampu memberikan sumbangan yang signifikan bagi negara. Sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada Kementrian Perkebunan (Perusahaan Perkebunan Negara). Dan akhirnya melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 229/UM/57 status pengelolaan itu dipercayakan pada sebuah badan bernama Perusahaan Negara Perkebunan (PNP). Kemudian tahun 1973, PNP diubah lagi menjadi PTP (Perseroan Terbatas Perkebunan). Dengan terbentuknya PTP ini maka PNP XXI dan PNP XXII dilebur menjadi satu yaitu PTP XXI-XXII. Langkah nasionalisasi pabrik-pabrik gula ini ternyata menimbulkan ekses yang cukup besar terhadap masa depan industri gula nusantara. Diusirnya para ahli gula ke negara asalnya yang tidak diimbangi dengan kemampuan teknis dan menejerial yang seimbang dari pengelola baru membuat ‘derajat kesehatan’ pabrik-pabrik gula tersebut menurun. Selain situasi politik nasional, menurunnya produktivitas lahan tebu karena kualitas lahan dan tenaga ahli Belanda yang pulang ke negaranya. Pada 1955, kemampuan produksi kebun tebu hanya 8,96 ton/ha, pada hal di masa jayanya sempat mencapai 14,79 ton/ha. Kondisi ini makin diperparah dengan kompleksitas permasalahan yang timbul setelahnya seperti makin uzurnya mesin-mesin produksi gula warisan orang-orang asing dan persoalan lainnya. Dari tahun ke tahun keberadaan pabrik gula sebagai pusat industri semakin menurun, sementara kebutuhan gula nasional terus membengkak.
Sejarah perkeretaapian di Indonesia diawali dengan
pencangkulan pertama pembangunan jalan kereta api, Jum’at tanggal 17 Juni 1864,
oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Mr. L.A.J Baron Sloet van den Beele.
Pada 10 Agustus 1867 kereta api pertama di Indonesia yang membawa penumpang dan
barang berjalan diatas rel sepanjang 25 km mulai dari stasiun Kemidjen Semarang
ke Stasiun Tanggung. Di masa itu, eksploitasi dan juga perdagangan hasil bumi
yang dikeruk dari daerah jajahan langsung ditangani Kerajaan Belanda setelah
dibubarkan VOC pada 1799 lantaran merugi akibat terlalu banyaknya dana
perusahaan yang dikorupsi.
Selusin stasiun ini keberadaannya dimaksudkan untuk
memudahkan distribusi bagi pabrik-pabrik gula yang beroperasi di Sidoarjo.
Diantaranya pabrik gula Waru, PG Sruni dan Karangbong di Gedangan, PG Buduran,
Candi, Tanggulangin dan Porong di jalur utara. Lalu jalur yang menghubungkan PG
Balongbendo, PG Krian dan PG Ketegan di sisi selatan. Serta jalur tengah yang
menyatukan jalur distribusi dari PG Watutulis, PG Bulang, PG Krembung dan PG
Toelangan.
Pada tahun 1889-1898, sebuah perusahaan trem uap O. J.
S (Oost Java Stroomtram Maatchappij) membangun jalur trem
Krian-Sepanjang-Wonokromo hingga ke ujung Surabaya. Ketika membangun
jalur-jalur rel di Krian, pihak perusahaan KA belanda sengaja membongkar paksa
makam-makam leluhur warga setempat yang sangat dihormati. Tindakan tersebut
sempat menimbulkan reaksi dari penduduk.
Sejak akhir Agustus 2016 lalu, gegap gempita suara
mesin-mesin giling yang dipadu dengan suara parau kereta pengangkut tebu dan
teriakan para pekerja di Pabrik Gula (PG) Toelangan seakan tertelan kesunyian.
Selain itu, aktivitas ringan juga dilakukan sejumlah petugas keamanan pabrik
yang diwajibkan tetap siaga di sejumlah titik untuk menjaga sekaligus
mengamankan mesin pabrik yang kini tidak lagi difungsikan. Sejak saat itu, PG
yang biasanya menghasilkan sekitar 1.200 ton gula per hari tersebut harus
berhenti beroperasi. Akibatnya lebih dari 400 orang karyawan kontrak dari
berbagai bagian yang baru menandatangani surat kontrak kerja awal Agustus,
terpaksa harus dihentikan dan dikeluarkan dari pabrik. Sementara 100 karyawan
tetap terpaksa dan hanya akan menerima gaji pokok setiap bulannya sampai pabrik
yang didirikan sejak jaman Belanda tahun 1854 ini benar-benar ditutup pada
2018.
Nasib serupa juga dialami oleh para karyawan tetap dan
pekerja kontrak yang mengais rupiah di PG Watoe Toelis, Prambon serta enam
pabrik gula lainnya di Jawa Timur yang ditutup oleh pemerintah pusat. Vonis itu
dijatuhkan karena pabrik-pabrik tersebut dinilai tidak mampu memenuhi angka
pendapatan yang ditargetkan PTPN X dan terus merugi. Penutupan permanen PG
Toelangan dan PG Watoe Toelis itu menambah panjang daftar pabrik-pabrik
penghasil gula kristal putih di Sidoarjo yang harus gulung tikar dan hanya
meninggalkan catatan sejarah manis di masa lalu. Berbagai sumber literatur yang
ada, baik buku, media online maupun surat kabar menyebutkan Sidoarjo pernah
memiliki pabrik gula yang cukup banyak. Angka pastinya memang masih simpang
siur. Ada yang menulis 10 unit, 12 unit, 13, 14 bahkan 16 unit. Namun hasil
penelusuran penulis berdasarkan bukti-bukti fisik yang ada serta informasi yang
digali dari warga setempat, setidaknya sampai saat ini baru ada 13 unit pabrik
gula yang teridentifikasi.
Nasib serupa juga dialami oleh para karyawan tetap dan
pekerja kontrak yang mengais rupiah di PG Watoe Toelis, Prambon serta enam
pabrik gula lainnya di Jawa Timur yang ditutup oleh pemerintah pusat. Vonis itu
dijatuhkan karena pabrik-pabrik tersebut dinilai tidak mampu memenuhi angka
pendapatan yang ditargetkan PTPN X dan terus merugi. Penutupan permanen PG
Toelangan dan PG Watoe Toelis itu menambah panjang daftar pabrik-pabrik
penghasil gula kristal putih di Sidoarjo yang harus gulung tikar dan hanya
meninggalkan catatan sejarah manis di masa lalu. Berbagai sumber literatur yang
ada, baik buku, media online maupun surat kabar menyebutkan Sidoarjo pernah
memiliki pabrik gula yang cukup banyak. Angka pastinya memang masih simpang
siur. Ada yang menulis 10 unit, 12 unit, 13, 14 bahkan 16 unit. Namun hasil
penelusuran penulis berdasarkan bukti-bukti fisik yang ada serta informasi yang
digali dari warga setempat, setidaknya sampai saat ini baru ada 13 unit pabrik
gula yang teridentifikasi.
Bangunan-bangunan lawas tersebut kini difungsikan sebagai
Mapolsek, Makoramil, Kantor Kecamatan, Puskesmas dan Kantor UPTD Dinas
Pendidikan Wonoayu. Informasinya bangunan yang kini dimanfaatkan sebagai Kantor
UPTD Dinas Pendidikan Wonoayu adalah rumah dinas kepala mekanik PG Poppoh.
Sementara itu, ditengah-tengah areal persawahan yang lokasinya berada di
belakang Puskesmas Wonoayu terdapat bangunan lama 2 x 3 meter berukuran lama
yang diyakini sebagai bagian dari gedung utama pabrik yang masih tersisa. Menurut
warga setempat, bangunan berdiri tebal dengan lempengan besi yang menempel di
tembok itu adalah tempat penyimpanan uang alias brankas dari PG Wonoayu.
Sepertinya informasi tersebut masih bisa dipertimbangkan kebenarannya karena
bangunan tersebut dilengkapi dengan pintu besi yang dilengkapi dengan 2 lubang
gembok besar. Kini, bangunan yang masih berdiri kokoh itu dimanfaatkan para
petani setempat untuk menyimpan alat-alat pertanian. Makin menambahkan, kisah
yang ia terima dari para tetua disana menyebutkan PG Poppoh masih beroperasi
hingga kedatangan Jepang di Indonesia. Penjajah dari Asia Timur kemudian
mengangkut semua mesin-mesin pabrik karena dianggap terbaik. Sejak saat itu PG
Poppoh tutup total.
Gedung tua dan mesin-mesin yang sudah berusia ratusan tahun
memang menjadi kendala dalam proses produksi gula. Karena itu Perseroan
Terbatas Perkebunan (PTP) pun memutuskan untuk menghentikan operasionalisasi
beberapa pabrik gula yang dikelolanya. Di Sidoarjo sendiri, dari 3 pabrik gula
yang dikelola PTN X kini hanya tersisa PG Krembung saja yang masih
dipertahankan. Sedangkan PG Tulangan dan PG Watu Tulis resmi ditutup per 2018.
Di wilayah Jawa Tengah dan Yogyakarta, sudah banyak pabrik-pabrik gula yang
berada di bawah kewenangan PTPN XI sudah berubah wajah menjadi destinasi wisata
yang banyak dikunjungi wisatawan dari dalam maupu luar negeri. Yang paling
populer adalah Gedung Lawang Sewu di pusat kota Semarang. Kantor Pusat
Perusahaan Kereta Api tersebut kini dibuka untuk masyarakat umum yang ingin
melihat bangunan tua peninggalan Belanda.